Created by : Arssy Fauzia
Keterpaksaan
Tahun 2009 adalah tahun penentuan
kelulusan adik bungsuku Azan MR di bangku SD nya. UN telah di gembor-gemborkan
pihak sekolah kepada setiap orangtua murid kelas enam. Alhasil, karena
kesibukan kedua orangtuaku mencari nafkah, akulah yang ditugaskan untuk
mendampingi Azan belajar menghadapi UN.Amanat tersebut tentu
saja aku jalankan dengan senang hati, karena dalam benaku ilmu yang telah aku
peroleh dapat ditransferkan kepada adik bungsuku yang memiliki perawakan tambun
saat itu.
Hari-haripun berlanjut. Bimbingan
belajar dilakukan setiap Azan pulang sembahyang maghrib di ruang tamu
berdekatan dengan ruang televisi keluargaku yang beralaskan karpet plastik bergambarkan
aneka hewan laut.
Mengenal
lebih dalam kepribadian Azan, dengan posturnya yang agak tambun dan berambut
cepak-gondrong dengan kulit sawo matang, membuat aku dan keluargaku senang
menjahilinya tidak heran Azan kini sangat sensitif dan cengeng. Selain itu Azan
menyukai humor dan kartun.
Menginjak
usianya yang ke sepuluh, Azan sudah menduduki bangku kelas 6 SD. Sepertinya
orangtuaku tidak betah menahan Azan diam di rumah lama-lama. Tak ayal menginjak
usianya yang ke-10 Azan akan menginjak bangku SMP.
Tahun
2009 adalah tahun dimana animasi banyak
ditayangkan di stasiun televisi. Tanpa mengenal waktu, setelah azan maghribpun
masih banyak animasi yang diputar dan menggoda iman anak muslim untuk
meninggalkan ibadahnya. Begitupula iman Azan, karena hari itu aku lupa
mematikan televisi setelah azan magrib, sehingga kecolongan oleh Azan yang
telah asyik menyaksikan animasi dari negeri tirai bambu itu.
“Azan
hayu urang belajar” (Azan ayo kita belajar) rayuku kepada adik bungsuku.
“Alim
ah,,’ngke weh tos shalat isya” (tidak mau, nanti saja setelah shalat isya) rengeknya.
Karena
lagi bad mood akupun memaksanya untuk
segera belajar. Namun, Azan terus merengek-rengek.
“Sakali ieu weh teh” (sekali ini aja ka)
rayunya, akupun luluh dibuatnya.
Keluluhanku
tersebut ternyata disalahgunakan oleh Azan, hingga saat mendekati UN, jadwal
belajar Azanpun di undur hingga shalat isya.
Pada
suatu malam yang lelah, aku baru pulang dari perjalanan kuliah. Sesampainya di
rumah aku langsung ditugaskan ayah untuk membimbing Azan belajar. Letih rasanya
malam itu, ingin rasanya segera memeluk guling dan sembunyi di balik hangatnya
selimutku. Akhirnya untuk mewujudkan visiku aku langsung mengajak Azan yang
saat itu sedang menonton untuk segera belajar.
Diawali
dengan paksaan, aku menyeret Azan untuk menyiapkan peralatan belajarnya di
ruang tamu. Karena ruang tamu berdekatan dengan ruang televisi, Azan tidak mau
pindah posisi belajar. Kegiatan belajarpun
aku lakukan, dengan terpaksa, belajarpun berjalan dengan alot. Azan mengerjakan
soal dengan malas-malasan. Karena sebal melihat perbuatannya akupun memaksanya
untuk bergegas menyelesaikan soal yang ada.
Sampai
ahirnya kemarahanku tak bisa terbendung lagi, ketika Azan tidak mampu
mengerjakan soal. Entah perkataan buruk apa yang telah aku ucapkan saat itu,
sehingga Azanpun tidak mampu menahan tangisnya.
“Kunaon
ceurik Azan?” (kenapa menangis Azan?) tanyaku sebal.
Isak
tangispun terus menderu-deru dan Azan tidak mampu menjawab pertanyaanku. Ayah
yang saat itu sedang istirahat dikamarnyapun keluar,
“Ceurik kunaon si Azan?” (kenapa
Azan menangis?) tanyanya padaku.
“
Diajarna teu bener” (belajarnya tidak benar) jawabku kesal.
Azanpun
melarikan diri kekamarnya, menangis tersedu-sedu semalaman. Ketukan pintu pun
diabaikannnya malam itu.
***
Kini,
Azan telah duduk di bangku SMP kelas 8. Kejadian malam itu masih meninggalkan
bekas diantara kami. Azan terasa jauh dariku, menjawab pertanyaanku saja tidak
jelas apa yang diucapkannya. Apalagi jika ditanyai tentang pelajarannya,
menggeleng dan menghindar adalah jawabannya.
Sungguh,
jika bisa kuulang waktu, aku ingin kembali ke malam itu. Memperbaiki kesalahnku
dengan mengajak Azan belajar tanpa paksaan. Akan ku tumbuhkan rasa persaudaraan
yang tak ingin dilupakan masa kecilnya.
Tahun
2011 ini sangat kelam kurasakan, jarang sekali kudengar gelak tawa Azan saat
menonton animasi kesukaannya. Senyum dan tawanya benar-benar hilang tiga tahun
belakangan ini. Berbagai cara telah kulakukan demi mengembalikan gelak tawanya,
dengan menceritakan hal-hal lucu, atau menceritakan boyband dan girlband
Korea yang baru-baru ini, disukainya. Namun ternyata tak berpengaruh banyak
terhadap perubahan raut mukanya.
Televisi
bagaikan sudara Azan kini. Setiap menunaikan ibadah shalat tidak ada kegiatan
selain menonton, kecuali waktu mati lampu Azan akan absen diam di depan layar audio visual dan kembali membisu di kamarnya.
***
Minggu
pagi ini adalah jadwalku untuk membersihkan rumah. Saat membersihkan kamar
Azan, “teman-teman” Azan menyambutku. Dipojokan kamarnya terdiam membisu kasurnya
yang kusut, lalu kubereskan dengan berhayal andai saja bisa menanyakan
kepadanya tentang apa saja yang Azan lakukan seharian jika diam di kamar.
Selain
kasur yang kusut “teman-teman” Azan berupa yoyo, poster boyband dan girlband yang
menghiasi belakang pintu Azan. Serta coretan artistik di daun pintu coklat itu.
Saat
merapikan kertas yang mencuat keluar dari lembar LKS aku terpaku. Entah berapa
lama aku terpaku, sampai tersadar ketika Azan menghampiriku.
“Keur
naon di dieu?” (lagi apa di sini?)
“Eeh,um
ari Azan keur naon?” (Azan lagi ngapain
disini?) tanyaku terbata-bata
“Kan
ieu kamar Azan”(kan ini kamar Azan) jawabnya tegas
“Eh?
Oh??...haha, teu ningali emang? Kan keur beberes” (eh?oh? haha tidak lihat emang? Kan lagi rapi-rapi rumah). “Embung
dibereskeun emang?” (ga mau dirapihin emang?) Tanyaku sinis.
“Oh…heueuh
atuh,ulah lila-lila teuing atuh!” (oh…yaudah jangan kelamaan) jawabnya sambil
berlalu.
Sewaktu
merapikan kamar Azan, secarik kertas yang membuatku tertegun merupakan rekapan
nilai UTS Azan semester ini. Nilai UTS Azan sangat memuaskan, karena diatas
rata-rata.
Akupun
tersadar, ternyata tidak, dibimbingpun Azan mampu menunjukkan prestasunya
dengan caranya sendiri.
Satu
lagi catatan memori hidupku. Ternyata untuk berprestasi diperlukan kemauan dari
dalam diri sendiri dengan tanpa paksaan. Karena kesiapan diri untuk menerima
dan menyerap materi adalah kuncinya. Proses
belajar akan menuntun seseorang menuju prestasi yang akan merefleksikan
usahanya masing-masing. “Bersababrlah, kaka sayang jangan paksa aku”.
***