Kamis, 12 Januari 2012

Keterpaksaan

Created by : Arssy Fauzia

Keterpaksaan


Tahun 2009 adalah tahun penentuan kelulusan adik bungsuku Azan MR di bangku SD nya. UN telah di gembor-gemborkan pihak sekolah kepada setiap orangtua murid kelas enam. Alhasil, karena kesibukan kedua orangtuaku mencari nafkah, akulah yang ditugaskan untuk mendampingi Azan belajar menghadapi UN.Amanat tersebut tentu saja aku jalankan dengan senang hati, karena dalam benaku ilmu yang telah aku peroleh dapat ditransferkan kepada adik bungsuku yang memiliki perawakan tambun saat itu.
       Hari-haripun berlanjut. Bimbingan belajar dilakukan setiap Azan pulang sembahyang maghrib di ruang tamu berdekatan dengan ruang televisi keluargaku yang beralaskan karpet plastik bergambarkan aneka hewan laut.
       Mengenal lebih dalam kepribadian Azan, dengan posturnya yang agak tambun dan berambut cepak-gondrong dengan kulit sawo matang, membuat aku dan keluargaku senang menjahilinya tidak heran Azan kini sangat sensitif dan cengeng. Selain itu Azan menyukai humor dan kartun.  
      Menginjak usianya yang ke sepuluh, Azan sudah menduduki bangku kelas 6 SD. Sepertinya orangtuaku tidak betah menahan Azan diam di rumah lama-lama. Tak ayal menginjak usianya yang ke-10 Azan akan menginjak bangku SMP.
        Tahun 2009 adalah tahun dimana  animasi banyak ditayangkan di stasiun televisi. Tanpa mengenal waktu, setelah azan maghribpun masih banyak animasi yang diputar dan menggoda iman anak muslim untuk meninggalkan ibadahnya. Begitupula iman Azan, karena hari itu aku lupa mematikan televisi setelah azan magrib, sehingga kecolongan oleh Azan yang telah asyik menyaksikan animasi dari negeri tirai bambu itu.
            “Azan hayu urang belajar” (Azan ayo kita belajar) rayuku kepada adik bungsuku.  
            “Alim ah,,’ngke weh tos shalat isya” (tidak mau, nanti saja setelah shalat  isya) rengeknya.
       Karena lagi bad mood akupun memaksanya untuk segera belajar. Namun, Azan terus merengek-rengek.
             “Sakali ieu weh teh” (sekali ini aja ka) rayunya, akupun luluh dibuatnya.
       Keluluhanku tersebut ternyata disalahgunakan oleh Azan, hingga saat mendekati UN, jadwal belajar Azanpun di undur hingga shalat isya.
     Pada suatu malam yang lelah, aku baru pulang dari perjalanan kuliah. Sesampainya di rumah aku langsung ditugaskan ayah untuk membimbing Azan belajar. Letih rasanya malam itu, ingin rasanya segera memeluk guling dan sembunyi di balik hangatnya selimutku. Akhirnya untuk mewujudkan visiku aku langsung mengajak Azan yang saat itu sedang menonton untuk segera belajar.
       Diawali dengan paksaan, aku menyeret Azan untuk menyiapkan peralatan belajarnya di ruang tamu. Karena ruang tamu berdekatan dengan ruang televisi, Azan tidak mau pindah posisi belajar. Kegiatan  belajarpun aku lakukan, dengan terpaksa, belajarpun berjalan dengan alot. Azan mengerjakan soal dengan malas-malasan. Karena sebal melihat perbuatannya akupun memaksanya untuk bergegas menyelesaikan soal yang ada.
       Sampai ahirnya kemarahanku tak bisa terbendung lagi, ketika Azan tidak mampu mengerjakan soal. Entah perkataan buruk apa yang telah aku ucapkan saat itu, sehingga Azanpun tidak mampu menahan tangisnya.
            “Kunaon ceurik Azan?” (kenapa menangis Azan?) tanyaku sebal.
          Isak tangispun terus menderu-deru dan Azan tidak mampu menjawab pertanyaanku. Ayah yang saat itu sedang istirahat dikamarnyapun keluar,
            “Ceurik kunaon si Azan?” (kenapa Azan menangis?) tanyanya padaku. 
            “ Diajarna teu bener” (belajarnya tidak benar) jawabku kesal. 
        Azanpun melarikan diri kekamarnya, menangis tersedu-sedu semalaman. Ketukan pintu pun diabaikannnya malam itu.
***
       Kini, Azan telah duduk di bangku SMP kelas 8. Kejadian malam itu masih meninggalkan bekas diantara kami. Azan terasa jauh dariku, menjawab pertanyaanku saja tidak jelas apa yang diucapkannya. Apalagi jika ditanyai tentang pelajarannya, menggeleng dan menghindar adalah jawabannya.
     Sungguh, jika bisa kuulang waktu, aku ingin kembali ke malam itu. Memperbaiki kesalahnku dengan mengajak Azan belajar tanpa paksaan. Akan ku tumbuhkan rasa persaudaraan yang tak ingin dilupakan masa kecilnya.
      Tahun 2011 ini sangat kelam kurasakan, jarang sekali kudengar gelak tawa Azan saat menonton animasi kesukaannya. Senyum dan tawanya benar-benar hilang tiga tahun belakangan ini. Berbagai cara telah kulakukan demi mengembalikan gelak tawanya, dengan menceritakan hal-hal lucu, atau menceritakan boyband dan girlband Korea yang baru-baru ini, disukainya. Namun ternyata tak berpengaruh banyak terhadap perubahan raut mukanya.
         Televisi bagaikan sudara Azan kini. Setiap menunaikan ibadah shalat tidak ada kegiatan selain menonton, kecuali waktu mati lampu Azan akan absen diam di depan layar  audio visual dan kembali membisu di kamarnya.                       
***
Minggu pagi ini adalah jadwalku untuk membersihkan rumah. Saat membersihkan kamar Azan, “teman-teman” Azan menyambutku. Dipojokan kamarnya terdiam membisu kasurnya yang kusut, lalu kubereskan dengan berhayal andai saja bisa menanyakan kepadanya tentang apa saja yang Azan lakukan seharian jika diam di kamar.                                   
     Selain kasur yang kusut “teman-teman” Azan berupa yoyo, poster boyband dan girlband yang menghiasi belakang pintu Azan. Serta coretan artistik di daun pintu coklat itu.
       Saat merapikan kertas yang mencuat keluar dari lembar LKS aku terpaku. Entah berapa lama aku terpaku, sampai tersadar ketika Azan menghampiriku.
        “Keur naon di dieu?” (lagi apa di sini?)
        “Eeh,um ari Azan  keur naon?” (Azan lagi ngapain disini?) tanyaku terbata-bata
        “Kan ieu kamar Azan”(kan ini kamar Azan) jawabnya tegas
      “Eh? Oh??...haha, teu ningali emang? Kan keur beberes” (eh?oh? haha tidak  lihat emang? Kan lagi rapi-rapi rumah). “Embung dibereskeun emang?” (ga mau dirapihin emang?) Tanyaku sinis.
         “Oh…heueuh atuh,ulah lila-lila teuing atuh!” (oh…yaudah jangan kelamaan) jawabnya sambil berlalu.
        Sewaktu merapikan kamar Azan, secarik kertas yang membuatku tertegun merupakan rekapan nilai UTS Azan semester ini. Nilai UTS Azan sangat memuaskan, karena diatas rata-rata.
        Akupun tersadar, ternyata tidak, dibimbingpun Azan mampu menunjukkan prestasunya dengan caranya sendiri.
        Satu lagi catatan memori hidupku. Ternyata untuk berprestasi diperlukan kemauan dari dalam diri sendiri dengan tanpa paksaan. Karena kesiapan diri untuk menerima dan menyerap  materi adalah kuncinya. Proses belajar akan menuntun seseorang menuju prestasi yang akan merefleksikan usahanya masing-masing. “Bersababrlah, kaka sayang jangan paksa aku”.



***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar